Dongeng Ibukota
Adalah satu dongeng sederhana yang mematikan lampu-lampu di kamar tidurku,
menyulap pintu lemari jadi pintu gerbang kastil yang kokoh,
begitu megah dan tak tersentuh, mirip gedung-gedung tinggi ibukota,
yang membuatku silau bukan hanya karna kaca-kacanya,
tapi begitu banyak ambisi dan kesombongan,
mengutamakan kantong pribadi dan menenggelamkan kata rakyat,
yang seharusnya satu, yang seharusnya utama,
atau paling tidak diusahakan pertama.
Adalah satu dongeng sederhana yang menidurkan anak-anak bangsa,
dengan kelelahan mata dan jari akibat games elektronik,
melupakan lompat karet, gangsing, petak umpet,
membenci aktivitas outdoor dan mencintai keautisannya,
bukannya belajar berkawan, lebih suka melawan,
sama seperti suara-suara mereka yang berdemo,
satu stereo, tapi tak betul-betul mengerti maknanya,
bukankah komunikator yang salah bila pesan tak sampai.
Adalah satu dongeng sederhana yang membius kita semua,
mnghadirkan sejuta tanda tanya, ada apa setelah ini dan itu,
sehingga mau tak mau, semua turut serta,
membunuh pagi dan siang, menghapus sore hari,
supaya jutaaan tanda tanya tak beranak pinak,
atau jangan-jangan walau dipotong dengan pedang Lancelot,
tumbuh kembali seperti ekor cicak,
atau lebih parah cacing tanah yang mengganda.
Marilah kita lari pada malam,
begitu nyaman rasanya dalam gelap,
supaya siapa saja dapat mendongeng,
ganti-berganti menjadi pelaku dan korban.
Para pendengar selamat datang!
Setelah cuci tangan kaki dan sikat gigi,
layar panggung kembali terangkat,
untuk sebuah dongeng sederhana.
Djakarta, 30 April 2009