Friday, May 27, 2005

Makam sebuah dongeng


Menggubah lirih malam,
lengkap dengan notasi,
jadi soneta peluruh sukma.


Dahaga sepanjang sahara,
jadi dataran es tak bertepi,
dengan musim semi di tengah.


Kau, menghuni lubuk hati,
tertera pada ratusan lembar ingatan,
tanpa bisa kucoret dengan darah.
Bersenyawa


Menyerap sari,
mendaulat peluh,
dan noda senggama.


Dalam hujan tak lagi renik,
bercampur lumpur tanah,
disela rumput hijau.


Kita,
menautkan jemari,
seraya bertukar ruh.

Wednesday, May 25, 2005

Simponi duka cita


Malam labu pakai kostum,
bawa topeng lalu berandai-andai.


Aku ini apolo, tak kalah tanding dengan idas,
atau setidaknya aku bersenjatakan lira...
Malam dan Merah


Dua kali aku tidur bergincu merah jambu,
dengan kilap ulasan senyum masih merona.


Malam ini merah darah, dalam lelapku.
Kenapa harus gigi gemertak menahan pedih,
mencabik dan buahkan tangis...

Tuesday, May 17, 2005

Kosong


Dinding tembaga,
yakin dirinya absah,
benar pada tiap tarikan karat,
tak pudar dalam bejana besar.


Ia punya mata juga telinga,
dan mungkin hati, seabad yang lalu.
Nurani dan insting tuk mencinta,
sebelum semua direnggut usia.
Nos poma natamus


Mekar dan berkembang,
rupawan juga cantik satu masa.
Bunga nantinya kan layu,
gugur lalu jatuh ke tanah.


Entah mengapa mereka melafalkan,
kerendahan diri sebagai awan kecil.

Monday, May 16, 2005

Aksara dari rasa


Seakan kehabisan vokal dan konsonan.
Rupanya tidak, endapan memori masih kental.
Alam menolak, kegusaran terbilas bersih.
Hanya rasa yang begitu tulus,
hinggap dan tak terbang lagi.
Awal


Penanggalan beban punggungku,
tak ada lagi yang perkosaku setubuhi tanah.
Kini kujunjung rasa yang mesra,
dengan gelegak berdaya musnah,
terhadap semua ketidakjujuran yang terjal.

Sunday, May 15, 2005

Persevero


Dayung dan layar,
sampai terbit suria,
habis pula tenaga,
tapi tidak jiwa ini.


Dayung dan layar,
tunjukkan dayaku manusia,
berlarian menutur cerita,
tak meleset dari suratan.
Mata hati


Sinarlah yang membedakan warna,
beri wahyu pada sepasang mata,
tuk meresapi tiap semburat,
putih, kuning, dan merah hati.


Demikian pula aku,
bisa menjelma kasih,
bertindak ikhlas dan mencinta,
karena kau.
Rasa yang murni


Dia, dia ataupun dia,
tidak dapat merampas cinta,
yang kukenakan sebagai jubah,
penutup tubuh..


Karena sebelum memasuki arena,
telah kutanggalkan kasut keangkuhan,
dan semeter setengah kain keegoisan.


Apakah yang mereka dapat ambil,
dari aku yang telanjang?


Kau telah masuk ke dalam hati,
melalui pori-pori.

Saturday, May 14, 2005

Warna dan rasa


Parafrasekan cerita kita,
habislah kertas dalam buku,
dan aksara dalam diksi.


Pijaran kita terlalu indah,
untuk mengenal eufemisme,
dan berjabat tangan dengan degradatif.

Sunday, May 08, 2005

Habis nafas, lelah raga


Lari dari setapak yang berkerikil halus,
jatuhkan diri pada secercah yang tersisa,
hijau pada awalnya dan nanti kecoklatan.


Halilintar yang bodoh,
entah apa yang kita takuti.

Saturday, May 07, 2005

Sub rosa


Mereka tidak perlu tahu,
degup jantung yang berpacu,
birahi yang tak tertata,
dalam setiap tatap mata.


Cerita kita milik berdua,
dalam meja pertemuan ini,
setelah nanti kusematkan,
bunga mawar di depan pintu.
Lapisan ketiga


Jambak tangan pada rambutku,
disimpul mati pada kekang.


Kesepuluh kuku tangan patah,
beradu dinding batu,
darah merah,
daging putih,
beku.


Sudah kau jarah,
dengan cumbu dan rayu.


Kau perkosa,
dengan peluh dan air mata.


Sampai dehidrasi kurasa,
res ad triarios rediit.

Friday, May 06, 2005

Aspirin


Kutuangkan sejuta bintang dari langit,
memberi cahya sekedarnya pada alam mimpi,
dimana kau tengah terlelap kuatkan raga,
yang rupanya sedikit terzalimi.


Mereka kan tuntun kamu padaku,
hangat dalam pelukan rindu,
dimana aku pun belum tuntas,
isi penuh lengkung senyum batinmu.
Penutup hari


Terperangkap kita dalam gurihnya euforia bercinta,
mereguk tiap klimaks dalam lengkung senyum,
tawa dan tentunya di sela tetesan air mata.


Waktu yang semu telah membeku,
dan kita tentu kan semakin larut.

Tuesday, May 03, 2005

Rotasi


Lirih fajar sudah terdengar sayup-sayup.
Kau yang lalu, kini dan akan datang adalah sama,
dalam bingkai kesempurnaan dua sisi.


Kau sungguh dicintai gravitasi bumi,
yang buatku berporos padamu.
Dari terbitnya matari, hingga 24 jam laluinya.
Hitungan menit


Mencintaimu berawal dari rela,
dan akan beriringan dengan darma.
Karna gembur mimpi-mimpi itu,
telah diperanakkan oleh waktu.
Tangis yang menguap


Menderam langit pada hitungan ketujuh,
mengebumikan riuh dalam satu detik hening.
Perlahan mendung awan bermunculan,
membaurkan hujan renik di tengah air mata.
Seketika langit menjadi megah dalam terang.
Lanjutan cerita


Meregat ribuan jalan panjang,
perciki air di muka lapak yang semakin kebal.
Larikan semua pada cinta yang takkan reda,
merebak haru di sesaknya aral.
Abadi


Saat lidah kelu mengucap lafal,
dan raga menjerang letih,
kau tetap ada dalam aku.


Walau fajar kusebut kelam,
dan dingin keliru jadi bara.
Kau adalah kau, terindah untukku.
Bukan percintaan biasa


Mata telanjang kita terpana,
akan awan dan bulan yang senggama.
Maka layaklah sepasang mata bersinar cemburu,
kala kita bercinta hingga bersimbah peluh.
Walau hanya desah dan lenguh kata,
dengan kasih sebagai bumbu utama.

Monday, May 02, 2005

Penulis catatan kaki


Aku beranjak tidur,
tetapi tidak ruhku.
Pun hati yang kutitipkan,
jauh-jauh hari padamu.


Priaku yang menyolok mata,
bahkan diantara selaksa orang,
padamkan kobaran amarah,
dan tinggalkan bunga api rindu.
Perempuan senja


Perempuan itu jatuh cinta,
pada pria yang tak perlu bernama.
Dengan pijakan strata rasa,
dan hanya punya hati.


Kemudian mereka membuat menara,
dengan fondasi sederhana.
Berstruktur cinta, cinta dan cinta,
yang tak pernah ada habisnya.
Pertama dan terakhir


Soneta lama dengan warna cerah,
kuanggapnya usang dan hitam putih.
Mereka adalah satire, tenggelamkan nyata.
Dengan kita yang berkecukupan cinta,
sebuah intermezzo tak perlu hadir.
Pelakon utama


Bicara remang yang terabaikan,
saat terang mengawali benderang.
Pun tegaknya pohon cemara,
di tengah rimbunan mawar,
yang semerbak dan merah darah.


Kau mencuri sorot lampu,
dalam sandiwara itu.
Tuntun mataku,
mengarah padamu.
Balui


Kau gandengkan senyum dengan enggan,
jarak beku sebagai tali kekang.
Nurani tak lagi ingin berperang.
Secarik kain putih tlah kujadikan serbet,
bahkan sedari awal, pada kemarau itu.


Tarik dan hembuskan nafas,
matilah aku tak dapat keduanya.

Sunday, May 01, 2005

Jejak


Lisut-lisut pada telapak,
bukan kulit dan juga dahi,
pikir aku tak butuh petang ini.


Sepasang yang menapak,
bersisian tanpa adu pacu,
tak hilang dijilati ombak.