Wednesday, October 26, 2005

Bernada saja


Eulogi untuk masa,
atas sebuah titik,
dan juga akhirnya.


Tidak perlu renyah nada,
cukup merangkum indera,
kau adalah efeufoni telingaku.
Satu testamen


Ibu suka membuang tatap,
dan ayah tertawa kecil,
waktu aku bicara tentang mati.


Disain nisan dengan hiasan di sudut,
bernuansa abu tapi jangan terlihat muram.
Kita semua pasti mati kan?


Jangan lupa kau ambil testamen,
sepucuk surat dalam brankas.
Tertera namamu di amplop.


Bukan kepada yang terhormat suamiku,
tapi untuk yang tercinta bekas pacarku.
Kalimat pendek


Ego menyusun kata,
lalu merangkai kalimat.


Bila aku adalah masa lalu,
siapa lah aku yang sekarang.
Waktu dan ruang


Sekarang sayap mengepak,
dan senyum diterpa angin,
begitu bebas.


Hanya saja aku rindu satu kata,
perbendaharaanmu seorang,
'pulang'.

Monday, October 24, 2005

Bukan surat cinta


Penaku patah, tintanya buyar,
dan sisanya menguap entah kemana.


Imajinasiku tumpul,
lembar kata berlepasan,
mungkin aku impoten.


Hanya karna kata,
tak pernah cukup.
Tak juga kabut mata,
teriak dan keringat.


Manik jiwa masih menanti,
dengan waktu yang semakin menipis.

Saturday, October 22, 2005

Demam sebutan


Jangan samakan rusa dengan karibu,
hampir serupa bukan berarti sejenis.


Juga gandewa dan gandi,
yang sama-sama busur panah,
tapi jelas beda karna aksara.


Lalu apa jadinya bila nanti,
brahma bertitah malam itu siang,
dan awal itu akhir.


Aku tertawakan kau,
kau pada mereka,
dan mereka karna kita.

Tuesday, October 18, 2005

Pencarian


Alasanku hari ini adalah enggan.
Tatap muka sungguh berat,
bahkan lebih dari sekarung bara.


Rupanya kita terserok,
lalu ramai-ramai masuk kotak.
Keluar saat malam tiba,
dan kelir terpasang rapih,
dengan berpuluh mata siaga.


Dari dulu sudah begitu,
kita hanya lakon belaka.
Iku ularana den kepanggih,
tahukah apa yang kau cari?
Idan idan iking rat


Dia sudah ada,
sebelum aku ada,
bahkan juga sebelum kau.


Pada susah dan beban,
kau hendak kelanakan diri.
Tundukkan kepala,
tengadahkan telapak,
cari mencari kemana-mana.


Tidakkah kau tahu,
Tuhan sudah mati.


Kau tidak temukan dia saat kau hidup,
tuk sekedar jawab semua tanya.
Dia mati saat kita hidup,
jadi kau tidak dapat temukan Tuhan.

Saturday, October 15, 2005

Kekuatan rasa


Tiupkan mantra,
pada kelopak yang berat,
ucapkan aku sayang kau,
dan dunia kembali berwarna.


Dan bangun saja taman bunga,
di sisiran pantai penuh karang,
lalu di balik telinga puan,
tersiar indah seantero buana.


Pernah percaya,
hati keras dan mata hati,
pada kekuatan cinta.


Yang memang ampuh,
untuk semua kecuali satu,
dan itu urusan vertikal.
Anak harapanku


Hari ini tanaya mati,
melompat keluar dari rahim,
dengan jantung tak berdenyut.


Terlalu penuh sesak,
asa tak lagi leluasa.
Tak cukup banyak oksigen,
untuk bilik harap yang kecil.
Manusia hari ini


Lelap, rebahkan syak,
sinar matari pasti datang,
itulah pagi yang kutahu.


Menyesakkan nafas,
hawa yang terlalu panas,
ah..siang hari yang wajar.


Senja, dengan merah-ungu,
heningkan fikir,
sejenak dan dua.


Lalu malam,
kembali lagi,
senyap dan sepi.


Aku begitu mengenalmu,
sama seperti empat cuaca,
pada panjang hariku.


Bahkan seperti garis tangan,
jumlah helai rambut putih,
dan gelisah milikku.

Thursday, October 13, 2005

Independensi


Alur mundur,
sepertinya tepat.


Biar wacana tak lagi bicara,
dan semuanya jadi bisu.
Tak lagi kata,
bunyi dan suara.


Agar semua neuron efektif,
menjelmakan inti masing-masing,
tak sekedar menghirup uap,
yang kebetulan lewat.
Sebuah keluh kesah


Bayu daksina terlampau kencang,
menggulung semangatku serta,
dengan resah, debu, pilu...

Tuesday, October 11, 2005

Get well soon, champ!


Ingin berada disana,
menyeka peluh dan nyeri,
dengan saputanganku,
yang dirajut dari asa,
berbordir kesturi.


Kutiup sakitmu jauh,
hinggap saja di aku,
bila perlu.
Lafal, terlalu


Gilang gemilang,
dengan wangi cendana.
Nestapa dalam balutan sutera.


Pengarang bunga kata,
karamkan jantung hati.

Monday, October 10, 2005

Sudut


Terang terang laras,
saat semua lengkap.
Sampai muncul riak,
dan itu menggangguku,
tapi tidak untukmu.


Matari jatuh,
kau sembunyikan cahya,
di kantung celana,
semua masih terang terang laras.

Sunday, October 09, 2005

Sadagati


Rindu bercermin,
pada diri yang berontak,
bukan berarti tak berotak.


Dahaga rasa,
tuangkan pada lensa,
pun kanvas manusia.
Samara


Sempurnakan strategi,
buat seribu alasan untukmu.
Dari terik hingga senyap,
embun sampai resah.
Kau (juga) sebuah mimpi


Selamat pagi,
udara dingin,
secangkir kopi.


Kau masih melesak,
terlelap di sofa sebelah.
Rampai-rampai mimpi,
berserakan di baju.


Selamat pagi,
percakapan beku,
secangkir pupur.
Panggung air sungai


Linang, berkilau-kilau.
Bulan penuh lampu sorot,
hulu ke hilir, melincir perlahan.
Bukan musim limbat,
tapi malam ini digelar satu judul,
tentang ceraian mimpi.

Friday, October 07, 2005

Purnama dan aku


Seribu malam kau tunggu bintang jatuh,
dan satu akhirnya tiba,
dengan kedua lengan mendekap.


Kau tata sinar perak,
serupa tiara di kepala,
resapi arti indahnya,
sebelum hari beranjak terang.

Wednesday, October 05, 2005

Beberapa untuk satu


Ingat kesan pertama itu?
Begitu dingin, tak tersentuh.
Sampai detail wajah terlupa,
nama lalu jadi ingatan tunggal.


Waktu bisa menelan kebekuan,
dan juga buyarkan mimpi.
Lupakan itu, kau lah mimpiku,
yang kurajut dengan kesabaran.
Buruknya kemegahan


Masih sama, lensa cekung di matamu,
jadikan ulat itu kupu-kupu,
jauh sebelum waktunya.


Dimana tak disusuri halus aspal,
warna mega tak terhalang gedung,
membuatmu bernafas lega.


Indahkah aku di bias lensa cekungmu,
atau burukkah aku dipantulkan disana?
Sekalimat janji


Kuseka pilu di lembar akhir,
buku-buku susuri tangga kata.
Kutemui sepasang telinga di baliknya,
kudekati dengan debar jantung berlomba.


Terima kasih tuk malam tadi,
aku rupanya tak merekayasa kerlip mimpi,
yang kubangun di langit orang lain.


Itu mimpi kita,
milik kita.

Monday, October 03, 2005

Melukis langit


Seharian ini hujan tak jadi mampir,
sekedar renik di ujung rumput pun tidak.
Bisa jadi senyum dan tawa kita bergema,
dipantulkan dan diperkuat oleh awan.


Mendung ditiup angin,
disapu biru muda,
tak hanya di kanvas langit.
Untuk penulisku


Jika memori dapat membunuh,
dia dapat hidupkanku lagi,
bahkan ratusan kali,
karna indah ingatan tentangmu.

Sunday, October 02, 2005

Natural


Mencintaimu apa adanya,
semudah terbangun di pagi hari,
karna matari yang mulai mengusik,
menerpa berat kelopak,
dengan sejuk butiran embun.


Sama alaminya dengan malam hari,
yang pusatkan dingin di sekeliling,
membuat kita ciut seketika.


Begitulah terjal, diinginkanmu,
dimilikimu, dan dicintaimu,
apa adanya aku.
Tujuh samskara


Samskara, inginku dekati sempurna,
bulat hingga hitungan ketujuh.
Mungkin itu hanya ingin-inginan,
angan yang lebih-lebihan.


Kau mimpiku,
jadi bolehkah aku lelap,
dan bermimpi lagi?