Thursday, March 31, 2005

Takarlah bila kau mampu..


Bentang gembiraku takkan cukupi lembaran peta,
bahkan yang terlebar sekalipun,
dengan skala satu banding seribu.


Bintang sunyiku,
kian indah hari-harimu,
dengan kita yang melesak semakin dalam.


Dan lihat, kemarin ada setetes haru.
Meluap dari relung hatimu,
yang kuyakin takkan pernah berdusta.


Lengkung senyum milikmu,
oh sungguh, cukupi lahir batinku,
maka genaplah ransum hidupku!
Masih medio


Pekat yang menyusuri lembaran ini mulai luntur.
Apakah hanya ilusi, atau sungguh debu berterbangan pergi.
Satu dan dua alasan, takkan pernah ada yang percuma.
Bahkan halangan pagar duri setinggi dada!
Puji yang tak pernah surut


Sudahkah kubilang tadi, indahnya kau,
saat berpeluh dalam dekapanku?
Bahkan tandingi kilaunya emas,
di lapisan terakhir pelangi surga.
Mungkin karna rasa yang terpantul,
di bening sepasang matamu.
Tandai adanya aku,
dalam relung hatimu.
Logika rasa


Teringat salam perpisahan,
pada tiap penghujung hari.
Hati-hati di jalan pulang, sayang..
Kabari aku nanti!


Aku baru menyadari,
kita masing-masing tak pernah pulang.
Bagaimana bisa bila rumah itu,
sesungguhnya ada dalam aku dan juga kau?
Percakapan


Cengkerama jantung pada rindu.
Sungguh kau ini merepotkan,
jejali aku dengan tugas yang berat,
tuk memompa lebih aktif dari biasanya.


Bincang rindu pada rasa.
Bukannya gerutu ingin kami sampaikan,
tapi dia lelah dan aku pun penuh harap,
akan sesuatu yang nyaris terluputkan hari ini.


Mereka berceloteh padaku, aku pun teringat.
Lidahku berkeluk, dan terucap lafal...
Aku sayang kamu, dari terbit hingga terbenamnya.
Jangan pernah bosan dengan kalimat itu ya!

Thursday, March 24, 2005

Alkisah usang


Masih redup, belum tiba saatnya,
sinar mentari dalam perjalanan.
Hendak pecahkannya,
bawakan sedikit asa.
Tapi untuk sekarang,
aku hendak nikmati.


Oh, gelora syahdu,
bawakan raut wajah seburam sketsa.
Setetes, dua tetes banyaknya,
yang jenuh dengan bobot perkataan.


Bila nanti kau menimba lafal,
coba kau eja dengan baik.
Takut-takut hatimu tak bisa merasai aku.
Genap hitungan kelam


Sudah kutunggu malam ini.
Malam terang penuh cahya,
berkumpul jadi bulat sempurna.
Diberi nama purnama.


Kukumpulkan mereka disini.
Beruang petarung, beringin kesabaran,
merpati pencinta, teratai kusucian,
pelanduk pemimpi dan padi kebijakan.


Kubawa mereka pada dia,
yang kujadikan tiang totemku.
Pada buanaku yang seluas jagad raya,
dan kusederhanakan atas nama kita.

Wednesday, March 23, 2005

Subur rupamu


Akulah pencocok tanam yang dihujani suka,
saat kulihat tunas yang kusemai tumbuh sempurna.
Pucuk ranum di kiri dan kanan hatimu,
hingga penuh semuanya.


Lalu pada matari dan awan,
kupersembahkan tarian indah nan gemulai.
Untuk sekedar ucapkan syukur,
karena puji-pujian teruntuk kamu seorang!
Kilasan puisi


Mau cemburu,
teriak menggila,
pada ingin yang menggoda!


Tapi pada apa?
Layakkah secarik kertas,
dan tetesan tinta kucemburui?
Atau bahkan a-b-c pada keyboard PC-mu?
Tentu tidak...


Aku hanya begitu cemburu,
pada atmosfer yang fana.
Dan mungkin dia yang entah mana,
yang jadikanmu begitu puitis.


Ah, sungguh putrikah dia,
bahkan di mata dan di sesapmu?
Layaknya kamu di luruhku?

Tuesday, March 22, 2005

Cerita hari sabat


Rupanya malam kurang kelam,
hingga tak selesai semua timbal balik.
Hingga jatuh matari menyapa kecewa,
pada mereka yang berharap percuma.
Meningkap hitungan detik


Tahun-tahun berlari terus,
tanpa kau sadari dia memakan segalanya.
Deo Gratias, pada lemahnya kita,
yang ternyata lekang waktu.
Maujud


Senja berkabut berlian,
luruh dalam tiap gesekan kilat.
Tinggalkan pesonanya melekat erat,
walau tanpa rekonstruksi ingatan.

Sunday, March 20, 2005

Berilah gemuruh tepukan!


Cum laude,
kepada perolehan rasa.
Magna cum laude,
bagi kelaparan asa.
Summa cum laude,
untuk keberhasilan kita!

Saturday, March 19, 2005

Amaris


Kau bisa memikat dara dengan seruling madu,
memanggilnya sedemikian rupa,
dengan keserasian do re mi...


Tapi dia yang datang sukarela,
lalu berdiam dalam perih dan lirih,
tanpa lantunan pelipur pun nyanyian perindu...


Maka dialah yang layak kau sandang,
dalam jenuhnya rasa dan tiap tetesan darah.
Bak percintaan cygnus


Mengambil perisai sesudah terluka,
dan mengacungkan panah yang berdaya.
Sementara rasa sudah terlanjur mekar,
berbunga begitu lebat, tangguhkan musim semi.
Terlambatlah untuk selamatkan aku,
yang memanen suka, hanya karna kerlingan matamu.
Berbaris sebelum lelap


Kau beri spasi pada sukar yang ada,
dan remang pun tak hendak bicara,
terutama saat kau lapangkan cahya.


Bila wajahku adalah cerminan hati,
tentu saat ini aku menjadi terindah,
dari cantik yang pernah tercipta!

Thursday, March 17, 2005

Tertatih dalam jujur


Mengayak aksara dalam keluk lingua,
menampinya sedemikian rupa.
Tidak akan surut asa hidupmu,
selayaknya kisah El Shaddai.
Itulah tanda bijaksana mukim di sukma.

Monday, March 14, 2005

Peridi


Sudah tinggalkan saja,
jangan perdulikan gaduh itu.
Hanya bisingnya mereka,
ia yang bersetubuh dengan waktu,
dalam ruang yang kian membisu.
Tanggalkan semua,
sampai-sampai garis tangan yang membatu.
Oh, jabar!


Pada badai yang menyatakan lingkar merah itu,
ya di keluk lehermu,
ya di gelang tanganmu,
ya di lengkung tapakmu.


Sedikit serpih dalam tiap bulir,
memaksaku urung tuk sembuh.
Persadaku


Aku masih memujamu,
hanya kusiarkan pada dinding tak bertelinga,
yang mampu meredam,
tapi tak kuasa menggemakannya...


Aku masih memujamu,
hanya kubiarkan lirih ini berlarian lepas,
berserak di padang mimpi,
tanpa gembala yang menggiringnya pulang...


Aku memujamu dan masih akan terus,
hanya saja kau tak perlu tahu...

Saturday, March 12, 2005

Khayali


Gambar angan-angan berlompatan,
mengisi lapang di sedikit celah,
tinggalkan semua dalam alkisah.
Masih khatam rupanya...
Silam


Bising otakku,
lemahkan ragaku.
Lari kemanakah mirah delima,
hingga kian meluruh binar matamu?

Wednesday, March 09, 2005

Lontaran fajar


Pada rumput yang hijau,
air yang tenang,
dan badai yang mereda.


Aku tahu pasti berujung dia,
tuk setiap jiwa yang ditahirkan,
dan lembah kekelaman yang disibakkan.
Renta


Dia mencelurkan aku dalam sekejap.
Tinggalkan hatiku menjadi pasir,
hancur luluh di dalam dadaku.
Dayaku pun musnah,
termakan habis sesap mautnya.
Menutuh kelam


Tak pernah terpikir, pun dalam berjenak-jenak.
Tuk menampi pada tiap semilir angin,
berjalan di alur sembarangan.


Anggapan dan layaknya perkataan,
kujadikan poros pegangan.
Seperti aksara yang tak pernah surut,
saat mengeja namamu.
Gema deruji


Sudah suaramu tuk menjerang kemari,
bergulung tanpa henti lingkupi aku.
Ya, aku rasa memang primer.
Lebih dari sekedar aku dan kamu,
bila ingin menghalau semua yang repih.

Friday, March 04, 2005

Syak


Dalil manapun takkan berlaku,
dan dapat dikatakan hangus sudah.
Bila ada yang merangsek merana,
terbakar rasa yang tak kunjung padam.
Swatantra


Belum pernah kutemui dalam tarikh manapun jua,
salju membara dan gurun yang menghijau.
Tak makan dan minum, empat puluh hari lamanya.
Sampai firman diturunkan, sebagai ijin gubahan.
Dua Kata


Terselip pinta yang mungkin tak pantas.
Aku enggan menariknya kembali,
jadi anggap saja itu hanya ranyau.