Sunday, April 24, 2005

Manifestasi fisik


Ya, ambillah belati berlumur racun itu,
tancapkan ke jantungku tanpa ragu.
Lalu bilaslah tanganmu dan segera berkemas,
jangan lupa kenakan kasut di kedua kakimu.


Mulailah berjalan dari tarsus hingga memfis,
tuk temukan sungai tigris.
Aku asyera, aku amaris


Masih kulihat gambaran sempurna,
pinggang dan buah dada yang penuh,
wajah molek dengan kulit sutra,
bibir merah menggoda.


Puji-pujian untuknya,
mengawan ke langit sana,
terbawa bayu timur dan selatan,
tetap dia bukan asyera.
Indera


Telinga itu menguji kata-kata,
tapi hatilah yang menampinya.
Partikel keruh sekecil apapun,
takkan mampu lewati bilik kanan dan kiri.
Kau harus leburkan rasa menjadi utuh,
sebelum berkata cinta,
atau cinta berkata.
Insomnia


Adalah penipu yang berdiam diri,
atas gelisah yang memakan jaringan sel hatiku.
Tapi aku pun penipu yang jatuh cinta,
pada ia yang terbius panah lelah,
dan tengah tertidur pulas.

Saturday, April 23, 2005

Pasir, hujan dan cinta


Pasir di pantai dan dasar lautan,
tetes hujan dalam massa awan,
hingga yang menyentuh buana,
siapa gerangan dapat membilangnya?


Namun mereka tetap nyata,
membawa rasa yang luar biasa,
tanpa perlu ditakar pun dimiliki,
sama halnya cinta dalam hati.

Thursday, April 21, 2005

Animae dimidium meae


Aku ada karna aku mencinta.
Dalam hitungan masehi,
yang berlari cepat,
saat kau dekat.
Dalam kilasan detik,
yang lamban bergeser,
saat kau jauh.
Manusia dan kami


Langit berputar,
kami masih terikat tanah,
menunggu siang untuk jemawa,
dan malam untuk tekur.


Saat kami kira cinta di atas maut,
maut berada di bawahMu.

Wednesday, April 20, 2005

Sebuah nama


Jangan panggil aku puteri,
aku sungguh tak layak.
Setahun telah mazul,
lepas dari manis anggur,
bunga pacar dan narwastu.
Bila nanti kau menyuntingku,
jadilah aku belahan jiwamu.
Seorang maharani pun,
masih rendah makamnya.
Catatan kecil


Kau titip cinta dan kejujuran,
tentu kan kujaga dengan matang.
Karna sudah dari semula hingga nanti,
tak ada habisnya rasa kasih yang kuberi,
maujud dalam hatimu.
Ugahari


Aku merindu jauh sebelum fajar ini.
Saat lengkung punggungmu begitu sempurna,
mendekap aku dalam basahnya rinai.

Tuesday, April 19, 2005

Lebih dari cinta


Dalam rajut pori malam ini,
disela besi pagar yang beradu rel,
kulontarkan belasan degup rasa,
lewat sinar mata cokelatku.

Monday, April 18, 2005

Menuju gembur


Menggasak terang dengan keruh matamu,
seketika sunyi, seluruh alam dalam relungku.
Lambukkan dengan tarikan sendi dan gerak otot,
entah pijakan mana yang kita tengah gemburkan.

Sunday, April 17, 2005

Loncatan


Berjeda dari banjar yang ada,
selangkah dua langkah hingga tepi.
Bisa jadi ini jagat raya yang keliru,
kita rapih sebelum berjelum.
Tambalan hati


Jelujurmu kurang rapat,
masih miring barang seinci.
Jelatik masih bisa lolos,
apalagi pedih dan perih ini.
Ikebana


Menggait bunga beranjak subuh,
sampirkan sedikit embun,
menggubah sedemikian rupa,
takkan seindah berakar dalam tanah.
Kanan dan kiri


Melapiki telapak kaki kanan, sedikit bergegas.
Terompah yang tertinggal, kujinjing di tangan kiri.
Walau pasti tak sama tinggi, bobot tetap seimbang.

Saturday, April 16, 2005

::tempoe doeloe::


Masih teringat akan senja terindah itu,
yang lalu namun takkan pernah usai.
Pamitnya matari memantik arakan awan,
hingga pada muka perak rembulan.
Hadirnya kau pada lembar baruku,
nyatanya tlah direstui.
Versi


Saputangan bunga menutup mataku,
jantungku bertalu, aku gugup!
Kau mendekapku lalu berbisik,
warna belah langit yang luar biasa,
indah berpendaran bagai kristal.


Untuk apa kau susah payah berkata,
gambaranmu masih kurang sempurna,
aku tlah temukan klimaks bias dalammu,
dan dibalik saputangan bunga,
aku tidaklah buta.
Pria Amerika-ku


Flanel usang kotak-kotak,
cukuran yang masih baru,
hawa segar rerumputan,
lengan kokoh kecoklatan.


Beberapa jenak takkan menelanmu,
pun luntur dari ingatan ujung jemariku,
dekap lengan serta pelukku,
sepasang mata dan satu rasa.

Thursday, April 14, 2005

Sekarang dan nanti


Tambahkanlah umurku,
walau kita tak butuh penanggalan.
Bertahun-tahun, berpuluh bahkan,
agar jujur rasa dan sikap berbuah.
Puaskan ujung hasrat yang murni,
dan nanti kita pun pergi bersama,
bersemayam padaNya.
Kuntum


Gaharu dan cendana,
langkahmu membawa mereka.
Entah angin bersekutu dengan siapa,
sibakkan aroma dari desir sutera indahmu.

Tuesday, April 12, 2005

[cinta??]


Aku sebagai subjek,
dan kamu juga subjek.
Kaidah yang salah,
tata bahasa yang kacau.


Dengan penyempurnaan,
semoga dapat dibenarkan.
Bila kata cinta tanpa imbuhan,
menjadi kata penghubung.
2 + 1


Dua mata, mereka sepasang.
Awas melihat kamu, sedari awal.
Pahatan terindah, wadah ruh tersuci.


Sekiranya mata ketiga hadir,
sebelum detik penentuan,
hipotesa akan tetap sama.


Kamu, satu-satunya pilihan.
Terbaik dari yang terbaik.
Penanggalan kesepuluh


Belum genap sepuluh putaran,
purnama yang mungkin sama singgah.
Ganjil sudah hitungan keseratus,
untuk aku mengantar malam dengan pinta,
dan landaskan fajar dengan doa.


Semua tentang kita,
dan tiada yang terlepas dari kita.
Suburlah rasa tunggal yang majemuk,
karna disinari rembulannya suria.
Ikatan


Bersenggama,
hitam atas putih.
Buat kontrak mati,
dalam hidup kali ini,
kau dan aku abadi.
Hanya prolog


Ya, lelahkan saja neuronku.
Hingga teriakan jiwa tak mengumpan,
lalu kucampakkan impotennya.
Tulang merepuh, tinggalkan aku,
keras-keras dalam lelehku.
Aku, termangu...


Dia yang satu,
di atas langit biru,
bertitah penuh haru,
akan mereka yang bisu.

Saturday, April 09, 2005

Kosa kata rindu


Kecapiku bermain sempurna,
dalam keluk jemari seorang pecinta.
Tanpa debur jantung yang pasti,
karna disitulah misteri terindah.


Pertautan rindu yang bertahta atas namanya,
terasa lebih mematikan dari genderang perang.
Ditabuh, bertabuh dan menabuhkan,
seirama degup jantung yang lebih dari sekedar bertalu.
Tik tok yang terhenti


Tak pantas kau turutkan ranggas dalam jalinan frase,
karna hangat dan beku datang bersamaan,
dan berulang terus dalam sedetik pertemuan.


Aku yang hangat, kau kecup kau cumbu.
Waktu yang beku, kau jarah, kau repih.
Kita yang masih tetap berjalan,
walau di luar lingkar waktu.
Warna


Sutera jingga di balik perak rembulan,
berubah warna jadi kelabu menghitam.
Seharusnya putih, mungkin sedikit tembus pandang.
Ya, selayaknya itu adalah murni.
Orionku


Purnama nyaris menghilang,
maka kutarik dataran buana,
menumpukan kaki lelah di atasnya,
menyenderkan lengkung punggung,
dan rebahkan diri..


Melihat indahnya langit terjangkau mata batin,
dengan titik bintang yang kurangkai sendiri,
jadi estetika tiada tanding,
kamu.

Wednesday, April 06, 2005

Trilogi


Layangkan pandang pada tubuh,
yang gemetar hingga buluh terasa gempa,
dan semua karna candumu.


Setubuhi aku sebelum terik mengiba,
karena diri ini hanya berisikan kamu,
sampai degup jantung teriakkan namamu.


Lalu setelah itu, tahirkan dengan kecup di pipi,
sebarkan merah dadu yang muncul kala fajar.
Rangkaian intermezzo


Nyeri pada lengan,
yang kian jaga waktu,
tak berontak.
Lemah pada pundak,
yang menopang beban,
sepanjang sejarah.
Letih pada betis,
yang tak henti berlari,
mencari permukaan yang rata.


Aku sudah imun,
tak lagi memaknai derita.
Karena cinta tlah hadir,
atas nama kita.

Monday, April 04, 2005

Indah, tak terucap


Tertera aku,
terlukis kita.


Semakin larutnya kamu,
dan terpenjaranya aku.


Merepih sukar,
sapukan kelikir,
sisakan dahaga rasa,
yang kan terisi nanti.

Sunday, April 03, 2005

Warisan


Suara laut menderu,
begitu tinggi dalam bising.


Keraskan hati,
beratkan telinga,
lekatkan mata,
pupuskan ingin.


Biar aku sembuh dari luka,
yang datang dari pesta pora.
Biar aku bisa berbalik dan pergi,
tinggalkan semua gempita.


Suara laut masih tetap menderu,
tapi aku tak lagi mendengar.
Mercusuar


Menyela kabut, jauh-jauh hari.
Tinggi menjulang dekat semenanjung.
Merah dan putih.


Tidak lebih tinggi dari gedung pencakar langit.
Tidak lebih kuat dari dinding berkubu.
Tidak lebih indah dari istana raja.


Menarikku, mempesonaku,
menerangiku, mengamankanku,
dan kemudian menenangkanku,
hingga akhirnya melelapkanku.
Braile dan namamu


Semalam aku jatuh buta,
tidak karena mati lampu,
ataupun gerhana.


Aku mendadak buta,
karena ujung jariku berbicara,
walau dalam gelap yang kelam.


Satu, dua hingga sepuluh,
memaknai kamu perlahan.
Seakan tengah menyesapmu,
menelusuri namamu dengan huruf Braile!
Linier berulang


Aku dan kamu berkelana,
menapaki lingkar waktu linier,
di atas pelana kuda perkasa.


Kali keseribu dengan pola yang sama,
mungkin ada yang tengah guncangkan buana,
tapi kita tetap melangkah sempurna.


Seakan tak tersentuh cela,
hanya ada tapal yang menipis...

Friday, April 01, 2005

Remah/remeh


Lantunan indahmu terbit,
saat genting datang,
dan kau anggap itu remeh.
Sedangkan buatku itu remah,
yang perlahan membangun,
tak lupa jua meruntuhkan.


Sempatkan waktu,
untuk menggores tinta.
Sederhana perilaku,
yang berakhir sempurna.