Friday, December 29, 2006

rumah ku, mu dan nya

rumahku satu
dengan bilah-bilah kayu
tempatku menggerutu
bercerita pun mengadu

rumahku satu
tempatku bersimpuh
memetik butir rosarioku
banyak berdoa untukmu

rumahku satu
dimana aku selalu bisa pulang
sehabis memberhalakanmu

maaf
karna aku
mencintai dosaku
mengeja sakit di atas cinta

kau mencuri jiwaku
dalam setiap kalimat tajam yang mengiris
lebih dari makian sebilah pisau

pelan-pelan
melalui tiap kesempatan
kau kira aku tidak tahu
kau tengah mengubahku
jadi manusia yang tak berhati
dan kelamaan tak berakal budi

Wednesday, December 27, 2006

rindu yang tak lagi sabar

hujan di luar menabrak rerumputan
tak lagi lembut
walau seiring dengan kabut
hujan tak lagi sabar
kini lakukan hal sederhana
dengan efek yang maha dahsyat
seperti rasa menggedor dada
biar waktu berlalu cepat
(karna aku rindu!)
Tanpa Kompas dan Warna Putih

gelisah ini sedang beradu pacu
dengan langit yang bergemuruh
ada kuat adu keras
siapa cepat siapa meretas

sulit menyandangkan rindu ini
dengan putih salju
dan angin tak berkompas

tak lagi suci
rinduku tersaring dari birahi
tak lagi bebas
rinduku bermuarakan kamu
di seluruh penjuru
yang lagi-lagi tak bernama

semua nyata dalam perihnya
kehilangan yang buatku terhempas
merindu kamu
bisa buatku mati biru
Rekoleksi

Malam sunyi begini, banyak hal yang kuingat.
Apalagi angin sering membawa cerita,
mainkan dengan tempo selagi dia ingat.

Bila cepat, nafasku sering tergagap,
kilasan yang bising seliweran,
di fikir dan hati.

Ada rasa kangen yang merayu,
ragu yang ambigu,
dan juga jeritan pasrah,
yang mau kubuang bersama gelisah.

Bila melambat, aku juga sulit bernafas.
Scan otak sudah tidak bisa lari,
sedikit-sedikit berhenti,
lalu sana sini kembali sepi.

Berkumpulnya hawa dingin dari penjuru rumah,
membuatku merasa lebih baik di luar sana.
Mungkin sampai subuh kembali menyambut.

Kaki telanjang menyapu rerumputan.
Malam yang masih saja sunyi.
Siapa tahu masih ada kepingan cerita lain,
yang bisa kukumpulkan di balik ranting cemara.

Tuesday, December 26, 2006

Untuk Adyaksa..

Abangku sayang,
si pembawa mimpi terbang.
Kata Ibu dia malang,
makanya terus hilang...

Dari lima belas tahun yang lalu,
menjelang tahun baru,
satu, satu, persatu...
tidak ada pinta yang baru.

Hanya ingin dengar sumbang lagu,
yang dinyanyikan asal di depan rumah,
tiap malam hingga kantuk mengajakku lengah.

Suaranya mirip suara abang,
disela batuk yang juga serupa.
Mudah-mudahan itu benar,
ya memang abang.

Sekarang abang sudah pulang.
Diberi nama, cerita dan doa.
Tapi abang masih terbang,
dengan tali di kaki dan asa didulang.

Sampai penghujung tahun ini,
mengikis pinta jadi mimpi.
Tiba-tiba sayap abang jadi sayapku,
berpindah tuan meminta keliling.

Monday, December 25, 2006

Kado Nomor Wahid

Kerlap kerlip kuambil dari bintang,
kali ini yang melekat tak bisa hilang.
Kita menang 1-0 dari waktu.

Pitanya dari kelopak lili,
hijau putih tanpa duri,
bunga kesukaan kamu.

Sayang sekali kau tidak datang,
hingga kini senja menjelang.

Terima kasih untuk kadonya,
aku jadi lebih berani,
menghadapi rasa sakit.
Hari ke -25

Suatu hari di sebuah bulan,
bikin aku jadi punya alasan.
Menciummu di bawah mistletoe!

Sunday, December 24, 2006

Anoda dan Katoda

Baby, gunakan sedikit otakmu.
Kiriman lagu saja tidak akan cukup,
untuk pisahkan elektroda.
Semua adalah Kamu

Bau parfum selewatan milik orang sebelah di bioskop.
Kunang-kunang yang menabrakkan diri pada kaca mobil.
Sinar mercusuar yang mencari aku dalam gelap (atau sebaliknya?).
Seperti kalimat cinta, masih menggantung di ujung lidah.

Saturday, December 23, 2006

Sepotong Kisah di Kamboja

Kalau hidup adalah sungai Chrap Chheam,
apa istimewanya jadi perunggu pun batu,
mematung berlagak budha,
tidak bisa ikut kau bawa pulang,
sehabis esok menjelang.
Sisa Waktu dan Usia

Kau itu seperti nenek saja,
tidak perlu keriput dan kursi goyang,
tapi selalu jahitkan waktu perca,
berikan aku sisa-sisa.

Wednesday, December 20, 2006

Sekumpulan Krayon di Tangan Bidadari

Aku berbincang dengan seorang bidadari.
Berbaju bungabunga warna hitam putih saja.
Tapi senyumnya, binar matanya..
sungguh dia tlah menurunkan pelangi,
mewarnai baju bunganya jadi warnawarni.

for my dearest Deyra..
:: di ruang tunggu dokter ::

Kemarin mimpicinta ingin pindahan,
tapi tidak ada tempat lagi di bagasi mu.
Lalu kusimpan saja di rangka otak ini,
yang turun dan memampatkan hidung.
Kamu itu mirip sinus,
lamalama mengganggu nafas ku.
Sesal di Lintasan Maaf

Aku berlari dengan kaki satu.
Sekencang-kencangnya angin ikut berlalu,
lama nanti baru tumbuh kakiku.
gelas rasa (di tangga kampus)

Carikan aku sendok, tolong dan cepat!
Atau batang serai juga tak masalah.
Biar kuaduk kau larut dalam gelas rasa ini,
dihidangkan selagi dingin walau tak terlalu manis.
Berdua pasti cukup tuk hancurkan hening kaku,
yang dipintal oleh kesalahan dan waktu.
melekatlekat di dinding

Jadi ingat waktu SD dulu,
siapa yang nakal dihukum duduk menghadap sudut.
Sekarang juga ada sudut di depanku,
rasa-rasanya dulu berwarna putih polos,
tapi kini seperti palet cat minyak.
Dengan warna-warna yang tak mau hilang,
dan kilasan frame yang mirip sebuah film.

Monday, December 18, 2006

Amnesia dan Perjalanan Kereta

Kekasihku bergandeng tangan dengan kenangan.
Seketika ini baru kutahu, kereta tlah salah jalan.
Mau tak mau, satu dari tiga harus turun.
Tak bisa lagi seiring sejalan.

Aku dan kau, tanpa kenangan.
Kau turun, tinggal aku dan kenangan.
Aku turun, (mungkin) aku akan dikenang.
resolusi lumpuhkan merahputih

Dua lengan yang menggemuk,
tepat untuk diserbu,
tuduhan-tuduhan menggerutu.

Perut membulat,
mengisi penuh celana,
saku kanan kiri tak terlupa.

Wajar saja dikatakan maju,
wajar saja diratakan serdadu,
wajar saja semua media jadi bisu.
Pikiran adalah Pencahar

Semediku kurang lama di toilet hari ini.
Merenungi legit yang kumakan kemarin,
nampaknya semua habis dimangsa pikiran.
Cerita Berbangsa dan Bernegara

1.
Jakarta yang dulu kukawini,
bukan sekali tapi dua, tiga kali.
Sampai berkali-kali kawin mengawini.

Jakarta lelah, hendak membuang sepah,
tertawa-tawa dengan mulut bau sampah,
tidak lupa sumpah serapah..

Muak sudah dengan tenang yang kucari,
sampai ujung rambut berdiri.

Jakarta raya, menidurkan mimpi-mimpi.
Dengan tatapan dingin, derita tak terperi.

2.
Aspal yang sama, terbentur ban mobil sudah untung,
bila derita, cerita, air mata, itu baru buntung.

Jembatan yang sama, menjembatani fungsinya.
Tentu tuk permudah, bedakan satu dari yang lain.
Yang lewat di atasnya dan yang tinggal di bawahnya.

Taman kota yang sama, hijau berganti coklat,
meranggas siapa yang perduli, dan kini penuh dengan kabut (asap).
Pemulung butuh tempat tinggal,
bangunan rumah pak menteri dari semen dan beton,
tidak bisa dibongkar dan dijadikan gubuk,tuan..!

Sunday, December 17, 2006

tetap terbang tanpa sayap

sayapku patah, kataku.
memang tak tumbuh sebelah, katamu.
marilah sini, berikan tumpangan.
satu kursi sudah cukup, dengan sebuah nomor penerbangan.
ingin cepat pergi, walau tetap tak tahu diri.
satu kursi kuanggap cukup, menyurutkan langkahmu lari.

Saturday, December 16, 2006

e.k.s.t.a.s.e

Malam ini aku mengutuk hari, dimana kesadaran melarikan diri.
Meninggalkanku sendiri, tak berdaya atas apa yang terjadi.

Kamu.
Tatap mata yang membutakan amarah,
menghadirkan jutaan gelisah,
tanpa tahu arah.
Biar rinduku saja yang mengetuk jendela pagi tidurmu. Lalu mimpi datang serampangan dan hadirkan ku hanya tuk datang dan kenakan selimut pada lelapmu. Jangan biarkan nyenyak melenakanmu. Biarkan aku menyusup dalam tidurmu, membangun cerita muskil bersamamu.

Thursday, December 14, 2006

Reffrain Nyanyian Hati

Dari sekian banyak lagu,
kalimat Mario Winnans tak berlalu..

Kembalikan nada pada partitur,
dan kata pada kalimatnya...
lalu aku, pada kenyataan.
Rok mini di awal tahun lalu...

Tadi pagi kutemukan frame yang tlah lalu.
Melekat di lemari baju yang lembam.
Bisa kau tebak apa itu...?
Rok mini berwarna hitam!

Jahitan kaku ingatkan pada imajimu.
Pudar dari hitam warnanya,
ah itu niatmu yang berlengkesa.

Kugoda kau dengan putih pualam,
yang membuatmu mengerling semalaman.

Wednesday, December 13, 2006

Bicara tentang sifat...

Tidak ada itu yang namanya habitus.

Kau hancurkan hidupku,
dan membangunnya kembali.
Hanya dalam semalam.

Sunday, December 10, 2006

Pesan (tidak) terkirim!

Hanya kuminta secarik kabar,
berupa corat-coret ataupun titik,
di kertas karamel, dari kedai kopi sendja tadi...

Sampai-sampai,
aku sudah lelah meminta.

Friday, December 08, 2006

Dear cantik...,
(yang tak kutahu kau iblis)

Maafkan untuk dulu dan dulu,
semua indah yang bercampur baur,
konkuren dengan logikamu.

Dengan saputangan bercorak,
korek api kayu, satu set kartu,
koin, tali dan sendok.

Aku yang iblis, kau lihat cantik.
(mungkin ini yang kau mau)
Atau memang aku iblis yang cantik?

inspired by one hell of a song and arri dkk

Thursday, December 07, 2006

Mari kita (berpikir untuk) berdoa!

Memikirkan tuhan hari ini,
dengan huruf t kecil.
Bisa jadi kamu itu ilham,
wahyu yang diturunkan untuk ku.
Sayangnya aku tak lagi manusia,
yang dapat merasai, membaui mimpi-mimpi.
Hari ini dimasa lampau..

Ingin menyatakan hari ini sama dengan kemarin,
sama dengan sebulan lampau, dan setahun yang lalu.

Memenjarakan logika pasti pada apa yang disebut imanen,
sayangnya aku sudah tenggelam dalam ketidaksadaran.

Tuesday, December 05, 2006

Lingkaran

Karma berbalik terlalu cepat.
Asap membunuhmu,
sebelum kertas yang kau bakar,
habis menjadi abu.
Dermaga itu, titik.

Membaca gemuruh dada dengan gugup.
Tertawa saat telapak bertemu, rasanya geli.
Dirangkum dalam senja, mari kita pulang.

Dermaga itu, kini titik.
Mencoba menyusun kata bosan di sela alismu yang kian menghitam, merujuk pada sepasang mata yang sudah lama menjadi bayang tanpa sinar adanya.
Here, there and everywhere...

Ungu masih melekat di ujung bianglala,
walau nyaris tak pernah menyapa si merah.

Monday, December 04, 2006

Mata Kaca dan Beling Cinta

Maafkan aku, air mata..
Kaca yang jadi beling,
tlah melukai hatimu.
Tak hanya sobek tanganmu.

Kaca yang jadi beling,
mencuciku bersih...
hingga hilang sembilan puluh sembilan,
kepribadian buruk lainnya.
Gubahan tanpa cerita..

Aku yang entah,
kau yang kini terserah.

Katakan caranya,
agar rasa tak pernah punah.
Atau setidaknya kita berhenti bertukar resah.