Terbakar Airmata
Barang-barang di rumahku mudah terbakar,
setiap kesedihan memuncak dan airmata menetes,
tetesannya mengalir ke arloji, pigura, buku,
menjadi laiknya bensin..
Bila mereka mengakhiri tangis dengan senyum,
barang-barang itu selamat, tidak hangus terbakar.
Lain halnya bila malam tak ditutup dengan damai,
maka terdengar tinnggg! Mirip bunyi pematik api,
bersamaan dengan terpejamnya mata karna perih.
Itulah sebabnya aku berkata pada setiap yang datang,
dan beristirahat satu, dua jam,
apalagi menginap.
Jangan kalian pelihara bibit kesedihan di rumah ini,
tinggalkan saja di depan pintu rumahku,
atau masukkan dalam kotak pos dekat pagar,
biar dibawa angin lalu yang bertugas tiap menit.
Jangan biarkan rumahku hancur, bukan karna banjir airmata,
yang masih bisa kering walau sedikit rusak.
Tapi karna kebakaran yang meluluhlantakkan hati dan kenangan di dalam,
dan menyisakan hanya abu untuk menyambut sakramen taubat.
Jangan biarkan,
lebih baik kau tak usah datang berkunjung.
Resting House, Juli 2010