Tiket satu arah
Nanti kita pasti bersama,
duduk bergelung rapatkan kaki,
mungkin dengan secangkir kehangatan,
yang selalu kubuatkan untukmu,
dan kau bagi dua denganku.
Di suatu fajar, entah di bukit yang mana,
di suatu senja, entah di semburat yang mana,
mungkin juga suatu malam,
entah di khayal atau bukan.
Perempuan Senja. Suka menulis sejak mengerti S-P-O-K. Hanya saja sekarang K berganti rupa jadi Kamu. Punya hubungan cinta benci dengan tulisan, rasa dan kenangan.
Thursday, September 29, 2005
Penghormatan
Aku merindumu,
juga pernik kecil darimu,
yang kusematkan pada topi,
buatku merunduk,
dan bukan tunduk,
lebih dalam dan dalam lagi.
Aku merindumu,
juga pernik kecil darimu,
yang kusematkan pada topi,
buatku merunduk,
dan bukan tunduk,
lebih dalam dan dalam lagi.
Langit kosong
Semua kembali berjatuhan,
dari secarik dua penanggalan,
tak luput dari ingatan.
Semua kecuali satu.
Jika mendung bisa tergusur,
oleh bayu semudah kapas muka,
ku ingin resah digulung langit,
tak apa walau nanti tanpa bintang,
dan juga sinar bulan.
Semua kembali berjatuhan,
dari secarik dua penanggalan,
tak luput dari ingatan.
Semua kecuali satu.
Jika mendung bisa tergusur,
oleh bayu semudah kapas muka,
ku ingin resah digulung langit,
tak apa walau nanti tanpa bintang,
dan juga sinar bulan.
Tuesday, September 27, 2005
Rindu yang sederhana
Aku rindukan kau,
saat pandang melayang,
usik malam yang senggamai bulan.
Bahkan pada letupan air mendidih,
yang lukai punggung tanganku.
Menyaru rasa yang menggedor dada,
perih dan begitu melegakan.
Aku rindukan kau,
sesederhana itu.
Aku rindukan kau,
saat pandang melayang,
usik malam yang senggamai bulan.
Bahkan pada letupan air mendidih,
yang lukai punggung tanganku.
Menyaru rasa yang menggedor dada,
perih dan begitu melegakan.
Aku rindukan kau,
sesederhana itu.
Abhiniwesa
Pagi tak usah lagi kupungut kau,
yang berlepasan dari mimpi semalam.
Kau tlah lekat di dalam benak,
pun tiap inci ku memandang.
Pagi tak usah lagi kupungut kau,
yang berlepasan dari mimpi semalam.
Kau tlah lekat di dalam benak,
pun tiap inci ku memandang.
Monday, September 26, 2005
Bagi dua
Masukkan citarasaku dalam papir di sakumu.
Yang kau gulung itu adalah rasa,
dari aku yang berdetak karenamu.
Candui aku, nikmati tiap sesapmu,
karna aku adalah kamu.
Bernafaslah dengan lega, dariku.
Mari kita bagi dua, tiap-tiap hari,
yang tersisa untukku.
Sehingga tak pernah kudengar lagi,
satu pergi tinggalkan kosong.
Masukkan citarasaku dalam papir di sakumu.
Yang kau gulung itu adalah rasa,
dari aku yang berdetak karenamu.
Candui aku, nikmati tiap sesapmu,
karna aku adalah kamu.
Bernafaslah dengan lega, dariku.
Mari kita bagi dua, tiap-tiap hari,
yang tersisa untukku.
Sehingga tak pernah kudengar lagi,
satu pergi tinggalkan kosong.
Friday, September 23, 2005
Refleksi oasis
Masih ingat di suatu fajar,
saat kubiarkan kau membilas penat,
hamburkan mimpi tentang kita?
Rasanya tak ingin beranjak,
hangatkan saja dengan mayarupa.
Dekapan resah masih terlalu dingin.
Masih ingat di suatu fajar,
saat kubiarkan kau membilas penat,
hamburkan mimpi tentang kita?
Rasanya tak ingin beranjak,
hangatkan saja dengan mayarupa.
Dekapan resah masih terlalu dingin.
Saturday, September 17, 2005
Malam bagi kita
Nanti, saat bumi tak lagi bundar,
penuh koyak dan atmosfer beku,
aku ingin tetap disini.
Atau mungkin disana,
terlelap selagi menanti,
menggenggam erat jemarimu.
Satu dan dua, untuk kerut di dahi,
dan juga lipatan di bawah dagu.
Takkan ada yang luntur darimu,
sama seperti rasa tak dicuri waktu.
Nanti, saat bumi tak lagi bundar,
penuh koyak dan atmosfer beku,
aku ingin tetap disini.
Atau mungkin disana,
terlelap selagi menanti,
menggenggam erat jemarimu.
Satu dan dua, untuk kerut di dahi,
dan juga lipatan di bawah dagu.
Takkan ada yang luntur darimu,
sama seperti rasa tak dicuri waktu.
Wednesday, September 14, 2005
Asamadhi
Buyarkan sampai kerikil,
tanah pecah jadi debu,
dan angin membawa pergi.
Setinggi menara,
sekokoh benteng,
depa demi depa,
meranggas.
Semadinya buyar,
pisah raga dari rasa,
mati dalam perang.
Buyarkan sampai kerikil,
tanah pecah jadi debu,
dan angin membawa pergi.
Setinggi menara,
sekokoh benteng,
depa demi depa,
meranggas.
Semadinya buyar,
pisah raga dari rasa,
mati dalam perang.
Terang, sinar bulan
Jalan bintang-bintang,
yang tak ranum jelaga,
jenuh dengan kilat.
Sinar matahari, fajar,
api, halilintar, dan kau.
Kau yang jyotimaya,
bukan sekedar serat belaka,
nanti kita lahirkan jyosna.
Jalan bintang-bintang,
yang tak ranum jelaga,
jenuh dengan kilat.
Sinar matahari, fajar,
api, halilintar, dan kau.
Kau yang jyotimaya,
bukan sekedar serat belaka,
nanti kita lahirkan jyosna.
Saturday, September 10, 2005
Delapan putaran bulan
Nyaris jadi majenun.
Untung saja aku diingatkan,
tuk menyapu serambi kalbu,
lalu dicuci bersih-bersih,
sampai kalis kembali.
Nyaris jadi majenun.
Untung saja aku diingatkan,
tuk menyapu serambi kalbu,
lalu dicuci bersih-bersih,
sampai kalis kembali.
Thursday, September 08, 2005
Humor
Sekali ini lelucon sebuah kata.
Membuatku tertawa,
entah di kilasan yang mana.
Malam itu aku dan kau,
di tengah kerumunan para absurd.
Serasi nampaknya, begitu adanya,
macam titik dirunut garis.
Aku mulai merindu,
masih kau dan populis itu,
yang tlah bergandeng mesra,
bahkan sedari awal.
Sungguh janggal,
aku dan kau,
bahkan rasa ini.
Sekali ini lelucon sebuah kata.
Membuatku tertawa,
entah di kilasan yang mana.
Malam itu aku dan kau,
di tengah kerumunan para absurd.
Serasi nampaknya, begitu adanya,
macam titik dirunut garis.
Aku mulai merindu,
masih kau dan populis itu,
yang tlah bergandeng mesra,
bahkan sedari awal.
Sungguh janggal,
aku dan kau,
bahkan rasa ini.
Wednesday, September 07, 2005
Jari jemari
Aku benci telunjuk kananmu,
main tuding sana sini,
ikuti letupan emosi sesaat,
dan licinnya kata karna lingua.
Mungkin tidak telunjuk kirimu,
yang saling silang, enggan nodai janji.
Kukira nanti kita kan beralih posisi,
pada hati yang tak lagi merasa.
Aku benci telunjuk kananmu,
main tuding sana sini,
ikuti letupan emosi sesaat,
dan licinnya kata karna lingua.
Mungkin tidak telunjuk kirimu,
yang saling silang, enggan nodai janji.
Kukira nanti kita kan beralih posisi,
pada hati yang tak lagi merasa.
Mata kanan dan kiri
Menyapa kerinduan yang bergulir masuk,
lebih cepat dari terbilasnya perih,
dan sisa gulatan imaji.
Bahkan saat detik meretas menit,
kita kian dirunut beku,
pada diam yang tak bisa lagi bisu.
Daya Buana
Dunia berputar,
tanpa pedulikan keriangan dalam,
kericuhan bahkan,
dan pembantaian hingga.
Dunia berputar,
hanya melewatiku.
Dunia berputar,
tanpa pedulikan keriangan dalam,
kericuhan bahkan,
dan pembantaian hingga.
Dunia berputar,
hanya melewatiku.
Subscribe to:
Posts (Atom)