Pasir dan harapan
Adalah merah yang mencapai puncak,
dan putih menua di ujung cakrawala,
saat degup jantung berdebat lebih keras.
Pada tekanan kaki (dan) kaki atas pasir,
juga rebah karna sukarku,
kau rupanya lantang menjawab.
Senja dalam senandung matari terbenam,
adalah derai air mata, yang datang dari hati.
Perempuan Senja. Suka menulis sejak mengerti S-P-O-K. Hanya saja sekarang K berganti rupa jadi Kamu. Punya hubungan cinta benci dengan tulisan, rasa dan kenangan.
Sunday, July 31, 2005
Friday, July 29, 2005
Puisi angin malam
Sulit mengeja huruf per huruf,
apalagi lafalkan satu kata.
Letih tangan menepis angin lalu,
jenuh otak mencerna jutaan alasan,
dan peluh dalam diam pun wicara.
Mereka ramai teriakkan namamu!
Bisa jadi aksara yang kuayak adalah cinta.
Sulit mengeja huruf per huruf,
apalagi lafalkan satu kata.
Letih tangan menepis angin lalu,
jenuh otak mencerna jutaan alasan,
dan peluh dalam diam pun wicara.
Mereka ramai teriakkan namamu!
Bisa jadi aksara yang kuayak adalah cinta.
Cinta bukan strata
Pandangku tinggi, pegal leher dibuatnya.
Bintang gemerlap yang erat pada matari,
oh, kujadikan dia langitku.
Bunga setaman terkikik,
pelanduk menatap bingung,
dan mereka terpana..
Ada angsa rupawan yang jatuh gila,
mengapa, aku bertanya.
Dia berkaca pada muka laut,
dengan riak ombak dan halus pasir.
Keliru dan percaya,
semua bintang bertempat di langit,
oh, junjunganku...
For my bestfriend, D.S
Pandangku tinggi, pegal leher dibuatnya.
Bintang gemerlap yang erat pada matari,
oh, kujadikan dia langitku.
Bunga setaman terkikik,
pelanduk menatap bingung,
dan mereka terpana..
Ada angsa rupawan yang jatuh gila,
mengapa, aku bertanya.
Dia berkaca pada muka laut,
dengan riak ombak dan halus pasir.
Keliru dan percaya,
semua bintang bertempat di langit,
oh, junjunganku...
For my bestfriend, D.S
Thursday, July 28, 2005
Selintas lalu
Aku ini hanya mimpi,
yang ditenunkan olehnya,
pada selembar kesabaran.
Mungkin nanti, dingin mendesakku,
aku tersebar antara batu-batu jalanan.
Tak usah dicari,
aku ini sebuah mimpi.
Aku ini hanya mimpi,
yang ditenunkan olehnya,
pada selembar kesabaran.
Mungkin nanti, dingin mendesakku,
aku tersebar antara batu-batu jalanan.
Tak usah dicari,
aku ini sebuah mimpi.
Wednesday, July 27, 2005
Pulang (sekali lagi)
Sekeping saja, disembuhkan sudah retakan yang ada.
Benang sutera tenggelam dalam bilur sepanjang bulan juni,
aku pernah berlabuh, dan kini aku istirahatkan berontakku.
Aku pungut rasa yang tak terbilang,
dalam kotak kenangan yang kau berikan.
Indah buah rasamu, hidupkan aku kembali.
Karna janjimu, yang tetap ada dan cintaiku,
di kenangan akan kita...
Sekeping saja, disembuhkan sudah retakan yang ada.
Benang sutera tenggelam dalam bilur sepanjang bulan juni,
aku pernah berlabuh, dan kini aku istirahatkan berontakku.
Aku pungut rasa yang tak terbilang,
dalam kotak kenangan yang kau berikan.
Indah buah rasamu, hidupkan aku kembali.
Karna janjimu, yang tetap ada dan cintaiku,
di kenangan akan kita...
Dejavu
Membayang di balik mata ini,
lembaran memori setumpuk tebalnya.
Sungguh ingat genggam tangan,
lewati penggalan arus lalu lintas,
dan aku, percaya.
Kupetakan jingkat kaki dalam tari unicorn,
dalam sinar rembulan dan tampias air,
kakiku basah, mataku basah..
Sematkan ini pada telinga kananmu,
aku telah jatuh lagi dalam rasa,
kepadamu.
Membayang di balik mata ini,
lembaran memori setumpuk tebalnya.
Sungguh ingat genggam tangan,
lewati penggalan arus lalu lintas,
dan aku, percaya.
Kupetakan jingkat kaki dalam tari unicorn,
dalam sinar rembulan dan tampias air,
kakiku basah, mataku basah..
Sematkan ini pada telinga kananmu,
aku telah jatuh lagi dalam rasa,
kepadamu.
Esensi manusia
Aku lantunkan keriaan dalam hati,
akan suka dan pujian pada sang waktu.
Dia tinggalkan kita disana,
isolasi rasa dan mungkin memori,
lewat puluhan frame tak tergantikan.
Semu yang bertik tok,
bergema layaknya tawa,
merasa paling kuasa.
Nyaris subuh saat kutarik nafas dalam-dalam,
hari ini aku tak boleh luput mencintaimu.
Barang sedikit pun, sedetik pun,
seinci pun meleset dan tak melesat,
sampai ke jantung hatimu.
Aku lantunkan keriaan dalam hati,
akan suka dan pujian pada sang waktu.
Dia tinggalkan kita disana,
isolasi rasa dan mungkin memori,
lewat puluhan frame tak tergantikan.
Semu yang bertik tok,
bergema layaknya tawa,
merasa paling kuasa.
Nyaris subuh saat kutarik nafas dalam-dalam,
hari ini aku tak boleh luput mencintaimu.
Barang sedikit pun, sedetik pun,
seinci pun meleset dan tak melesat,
sampai ke jantung hatimu.
Tinggal diam
Aku rindu penjajahan oleh waktu,
serakahnya detik mencumbui usia.
Kita tak pernah beranjak, hanya nikmati hari.
Menjaring tiap fajar dan senja yang berpamitan,
dengan satu, dua semburat bertanggalan.
Membeku, seperti batu,
gravitasi bahkan tak berlaku.
Aku rindu penjajahan oleh waktu,
serakahnya detik mencumbui usia.
Kita tak pernah beranjak, hanya nikmati hari.
Menjaring tiap fajar dan senja yang berpamitan,
dengan satu, dua semburat bertanggalan.
Membeku, seperti batu,
gravitasi bahkan tak berlaku.
Friday, July 22, 2005
Malaikat dalam frame
Lembar menguning, dengan hiasan buram.
Mungkin debu selamatkannya dari ngengat.
Butuh lebih dari belasan tahun,
atau bisa jadi gegar otak ringan,
agar aku lupa akan figurmu.
Ajaran yang tak pernah usang,
dan kompas penunjuk arah paling tepat.
Kau lekat permanen dalam benak dan hati,
bersanding dekat nuraniku.
Dedicated to B.W,
my grandfather.
Lembar menguning, dengan hiasan buram.
Mungkin debu selamatkannya dari ngengat.
Butuh lebih dari belasan tahun,
atau bisa jadi gegar otak ringan,
agar aku lupa akan figurmu.
Ajaran yang tak pernah usang,
dan kompas penunjuk arah paling tepat.
Kau lekat permanen dalam benak dan hati,
bersanding dekat nuraniku.
Dedicated to B.W,
my grandfather.
Finale
Sumbu yang terakhir,
aku adalah satu antara tiga.
Kujaga baik-baik terangnya,
karna ini rumah tuanku.
Berbilik kecil dengan bau harum,
wangi bersahaja melati putih.
Rupa sederhana nyaris tertutup kilau,
yang tak lain dari remah-remah mimpi.
Aku adalah satu antara tiga,
pertahankan sampai redup menjelang,
walau gelap memangsaku perlahan.
Karna dua lain adalah angin,
dan benih prasangka.
Sumbu yang terakhir,
aku adalah satu antara tiga.
Kujaga baik-baik terangnya,
karna ini rumah tuanku.
Berbilik kecil dengan bau harum,
wangi bersahaja melati putih.
Rupa sederhana nyaris tertutup kilau,
yang tak lain dari remah-remah mimpi.
Aku adalah satu antara tiga,
pertahankan sampai redup menjelang,
walau gelap memangsaku perlahan.
Karna dua lain adalah angin,
dan benih prasangka.
Thursday, July 21, 2005
Limitasi
Benang sari dan putik,
kumpulan rumput liar,
kau petik satu persatu,
dari purnama semalam...
Kau manjakan aku,
dengan deras kata,
yang dulu pernah kupinta,
dalam tiap untaian doa...
Benang sari dan putik,
kumpulan rumput liar,
kau petik satu persatu,
dari purnama semalam...
Kau manjakan aku,
dengan deras kata,
yang dulu pernah kupinta,
dalam tiap untaian doa...
Monday, July 18, 2005
Putaran rasa
Keluhan rutin pada hari-hari hujan,
betapa kami benci pada kilat,
yang awali serentetan larangan.
Berlari ke balik punggung bunda,
berlindung dari gaduh guntur,
diakhiri dengan lebat hujan.
Beberapa jenak tuntas sudah tangis langit,
tinggalkan becek lumpur tuk bermain.
Kau pun menyambarku bagai kilat,
sekelibatan mata namun dahsyat.
Dalam hitungan detik aku terpaku,
singkat kemudian hatiku digedor kuat.
Nanti kita kan berlari kecil saat hujan renik,
berteduh di kala lebat, nikmati indah bianglala,
dan jejakkan kaki telanjang di rumput yang basah.
Begitulah dunia, ikatan ini,
dan keseluruhan dinamika.
Kita jelang sama rata,
sampai nafas tak lagi sama.
Keluhan rutin pada hari-hari hujan,
betapa kami benci pada kilat,
yang awali serentetan larangan.
Berlari ke balik punggung bunda,
berlindung dari gaduh guntur,
diakhiri dengan lebat hujan.
Beberapa jenak tuntas sudah tangis langit,
tinggalkan becek lumpur tuk bermain.
Kau pun menyambarku bagai kilat,
sekelibatan mata namun dahsyat.
Dalam hitungan detik aku terpaku,
singkat kemudian hatiku digedor kuat.
Nanti kita kan berlari kecil saat hujan renik,
berteduh di kala lebat, nikmati indah bianglala,
dan jejakkan kaki telanjang di rumput yang basah.
Begitulah dunia, ikatan ini,
dan keseluruhan dinamika.
Kita jelang sama rata,
sampai nafas tak lagi sama.
Benih pikiran
Sekali lagi mencoba tuk erat,
tenggelam dalam rasa.
Dimana pelabuhan sejuta rona,
tak mampu sadarkan kita.
Aku hanya ingin satu, lekat.
Tak sekedar mengenang,
masturbasi imajinasi,
setubuhi rasa yang kosong..
Sekali lagi mencoba tuk erat,
tenggelam dalam rasa.
Dimana pelabuhan sejuta rona,
tak mampu sadarkan kita.
Aku hanya ingin satu, lekat.
Tak sekedar mengenang,
masturbasi imajinasi,
setubuhi rasa yang kosong..
Saturday, July 16, 2005
Vows
Pucat wajahmu tak redupkan aura,
genggaman tangan dan tautan rasa lekat,
mengusung frase batas usia,
tenggelamkan di dasar samudera.
Keringat basahi keningmu,
lengkapi sekotak nyeri di hatiku.
Kupungut sejumlah asa baik-baik,
tanpa satu yang tertinggal.
To have and to hold,
from this day forward,
for better, for worse,
for richer, for poorer,
in sickness and in health,
to love and to cherish...
Pucat wajahmu tak redupkan aura,
genggaman tangan dan tautan rasa lekat,
mengusung frase batas usia,
tenggelamkan di dasar samudera.
Keringat basahi keningmu,
lengkapi sekotak nyeri di hatiku.
Kupungut sejumlah asa baik-baik,
tanpa satu yang tertinggal.
To have and to hold,
from this day forward,
for better, for worse,
for richer, for poorer,
in sickness and in health,
to love and to cherish...
Friday, July 15, 2005
My call
Ada denyut yang tertunda,
detak yang berganda,
dan nafas yang terus memburu...
Aku, kau,
dan kita...
Ada denyut yang tertunda,
detak yang berganda,
dan nafas yang terus memburu...
Aku, kau,
dan kita...
Titisan
Siapa kau?
Panjang rambut, jernih mata,
tinggi badan dan putih kulit,
kau yang kini,
aku asing.
Ah, kau rupawan,
menitis angsa ketika purnama,
tanggal kostum dan lekatkan indah.
Hanya saja sinar matamu beda,
tak lagi menghujam bertabur renjana,
siap luluhkan aku habis-habisan...
Kita hilang kekang,
akan serbuan waktu,
tinggalkan jemu,
dan candu.
Siapa kau?
Panjang rambut, jernih mata,
tinggi badan dan putih kulit,
kau yang kini,
aku asing.
Ah, kau rupawan,
menitis angsa ketika purnama,
tanggal kostum dan lekatkan indah.
Hanya saja sinar matamu beda,
tak lagi menghujam bertabur renjana,
siap luluhkan aku habis-habisan...
Kita hilang kekang,
akan serbuan waktu,
tinggalkan jemu,
dan candu.
Wednesday, July 13, 2005
Utuh
Beku atmosfer malam itu,
kau membakarku.
Ingin mencampakkan segera,
semua basa basi itu,
dan selimut yang menutupimu..
Masuki labirin sunyi,
entah kaki-mu atau -ku,
terlalu gemetar,
kita buat gaduh saja..
Malam terusik, gelap melindap,
sinar matari agak jengah,
mengintip malu-malu..
Fajar itu,
kita satu.
Beku atmosfer malam itu,
kau membakarku.
Ingin mencampakkan segera,
semua basa basi itu,
dan selimut yang menutupimu..
Masuki labirin sunyi,
entah kaki-mu atau -ku,
terlalu gemetar,
kita buat gaduh saja..
Malam terusik, gelap melindap,
sinar matari agak jengah,
mengintip malu-malu..
Fajar itu,
kita satu.
Wednesday, July 06, 2005
4/4 dan staccato
Pianoku uzur penuh debu,
esok kan kukibas bersama kelu tangan,
sudah lama kaku,
terlalu.
Perlahan jari satu hingga lima,
kanan dan kiri ketukkan tempo baru.
Mainkan lagu cinta dengan nada riang,
sedikit staccato disana sini.
Buyar sudah birama yang tersusun rapih,
perduli tak aku pada kaku garis batas,
hadirnya mereka hanya tuk jenuh.
Dan rasa tak kenal kata itu,
jabat tangan tak pernah mereka lakukan.
Pianoku uzur penuh debu,
esok kan kukibas bersama kelu tangan,
sudah lama kaku,
terlalu.
Perlahan jari satu hingga lima,
kanan dan kiri ketukkan tempo baru.
Mainkan lagu cinta dengan nada riang,
sedikit staccato disana sini.
Buyar sudah birama yang tersusun rapih,
perduli tak aku pada kaku garis batas,
hadirnya mereka hanya tuk jenuh.
Dan rasa tak kenal kata itu,
jabat tangan tak pernah mereka lakukan.
Monday, July 04, 2005
Manisnya rasa
Kubangun harga manusia dari janji.
Bagaimana lekuk lidah muntahkan frase,
kubangun puri megah dari kata per kata.
Walau ringkihnya bagai pasir,
tetap perisai kokoh milikku.
Diri ini, sepanjang jengkal tubuh,
utuh milikmu.
Bernafaslah dengan janjiku,
selama ruh melekat di raga,
aku setia pada rasa ini.
Kubangun harga manusia dari janji.
Bagaimana lekuk lidah muntahkan frase,
kubangun puri megah dari kata per kata.
Walau ringkihnya bagai pasir,
tetap perisai kokoh milikku.
Diri ini, sepanjang jengkal tubuh,
utuh milikmu.
Bernafaslah dengan janjiku,
selama ruh melekat di raga,
aku setia pada rasa ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)