Dearest champ...
Nampaknya ini putaran terakhir.
Entah dengan urutan pelari,
hanya kau yang kulihat,
di tengah debu dan strip putih itu.
Aku tunggu di garis akhir ya!
Siap memelukmu seutuhnya.
Dengan peluh dan rasa kecewa,
pun air mata serta medali.
Perempuan Senja. Suka menulis sejak mengerti S-P-O-K. Hanya saja sekarang K berganti rupa jadi Kamu. Punya hubungan cinta benci dengan tulisan, rasa dan kenangan.
Monday, August 29, 2005
Rasionalitas bercinta
Sebidang angan masih tepat di jantung hati,
masih gembur dan siap tuk ditanami.
Dalam partikel halus dan kasar,
mereka bukan sasaran tembak.
Air mata pun bukanlah skor di papan,
yang digurat dengan kapur.
Sedetik, dua tuk lengkung senyum,
menit dengan gerik perlahan dan tawa,
hitungan jam larut dalam hangat pelukan,
yang kesemuanya dilalui bersama.
Hanya frame-frame milik kita berdua,
dan itu satu-satunya yang penting buatku.
Sebidang angan masih tepat di jantung hati,
masih gembur dan siap tuk ditanami.
Dalam partikel halus dan kasar,
mereka bukan sasaran tembak.
Air mata pun bukanlah skor di papan,
yang digurat dengan kapur.
Sedetik, dua tuk lengkung senyum,
menit dengan gerik perlahan dan tawa,
hitungan jam larut dalam hangat pelukan,
yang kesemuanya dilalui bersama.
Hanya frame-frame milik kita berdua,
dan itu satu-satunya yang penting buatku.
Friday, August 26, 2005
RIP; for perversion
Aku jatuh cinta,
pada tatapan yang tajam,
menusuk hati, sebuah hanya,
koyakkan daging dari tulang,
campakkannya.
Sekejap aku tak mampu berdiri,
kehilangan penopang,
lebih dari sekedar kruk kaki,
masih karna sepasang mata,
piawai mencabut sukma kah?
Aku jatuh cinta,
pada tatapan yang tajam,
menusuk hati, sebuah hanya,
koyakkan daging dari tulang,
campakkannya.
Sekejap aku tak mampu berdiri,
kehilangan penopang,
lebih dari sekedar kruk kaki,
masih karna sepasang mata,
piawai mencabut sukma kah?
Thursday, August 25, 2005
Dua puluh enam
Pertaruhkan semua isi kantung,
sampai secarik yang melekat akhir.
Untuk satu kesempatan.
Takkan kusesali, takkan kupungkiri,
sakit membuatku lebih dalam,
disetubuhi perih kata setia.
Sudah lewatkah kereta itu?
Kenapa aku masih tetap bernafas?
Pertaruhkan semua isi kantung,
sampai secarik yang melekat akhir.
Untuk satu kesempatan.
Takkan kusesali, takkan kupungkiri,
sakit membuatku lebih dalam,
disetubuhi perih kata setia.
Sudah lewatkah kereta itu?
Kenapa aku masih tetap bernafas?
Menjawab [...]
Hampir lupa rasanya perih ini,
kita semua memang pelakon belaka.
How could you?!
Hampir lupa rasanya perih ini,
kita semua memang pelakon belaka.
How could you?!
Wednesday, August 24, 2005
Satu, satu
Aku baru saja jatuh tuli,
lorong buntu tak bervibrasi,
pada gendang telingaku.
Dan kini sadar bertanggalan,
dalam utuhnya tongkat jalanku,
sarungkan aku dalam hampa.
Aku baru saja jatuh tuli,
lorong buntu tak bervibrasi,
pada gendang telingaku.
Dan kini sadar bertanggalan,
dalam utuhnya tongkat jalanku,
sarungkan aku dalam hampa.
Monday, August 22, 2005
Luka dalam diam
Mematuk langkah,
hentikan ucap dan laku.
Sungguh definisi yang salah,
karena sepasang ini masih terus menjejak,
bahkan tak hanya berderap, tidak lagi.
Percikan kecil muncul dan membesar,
karna senyawa bagian hawa ini dan dunia.
Aku berlari, dan masih akan terus,
walau sadar betul rasa hampir tak sanggupi,
bersamaan dengan raga yang telah rontok.
Mematuk langkah,
hentikan ucap dan laku.
Sungguh definisi yang salah,
karena sepasang ini masih terus menjejak,
bahkan tak hanya berderap, tidak lagi.
Percikan kecil muncul dan membesar,
karna senyawa bagian hawa ini dan dunia.
Aku berlari, dan masih akan terus,
walau sadar betul rasa hampir tak sanggupi,
bersamaan dengan raga yang telah rontok.
Thursday, August 18, 2005
Esok
Bila nanti kau ditikam rindu,
sampai-sampai habis nafasmu,
ketahuilah bahwa aku sudah menjelma,
menjadi serpihan kristal yang mengering,
di sudut matamu...
Bila nanti kau ditikam rindu,
sampai-sampai habis nafasmu,
ketahuilah bahwa aku sudah menjelma,
menjadi serpihan kristal yang mengering,
di sudut matamu...
Percakapan dan malu
Mengetuk pintu tuk sekedar menyapa,
bukan hanya menjenguk hingga mata bertemu mata,
dibatasi jingkatan pada jendela berkusen kayu...
Apa kabar kamu hari ini?
Kau rindukan aku?
Hanya ingin curi beku pada waktu,
telusuri retinamu yang berkobar api,
dan dia tak mampu membakar,
tidak untuk sekarang.
Ciptakan alasan lain pada petang nanti,
mungkin sekedar mengatakan,
"Lihat, sayang..hari telah senja,
kali ini kau kalahkan guyuran malu-malu matari,
pada kuncup bunga setaman..."
Mengetuk pintu tuk sekedar menyapa,
bukan hanya menjenguk hingga mata bertemu mata,
dibatasi jingkatan pada jendela berkusen kayu...
Apa kabar kamu hari ini?
Kau rindukan aku?
Hanya ingin curi beku pada waktu,
telusuri retinamu yang berkobar api,
dan dia tak mampu membakar,
tidak untuk sekarang.
Ciptakan alasan lain pada petang nanti,
mungkin sekedar mengatakan,
"Lihat, sayang..hari telah senja,
kali ini kau kalahkan guyuran malu-malu matari,
pada kuncup bunga setaman..."
Monday, August 15, 2005
Proletarian
Kita berdiri di persimpangan jalan,
di bawah temaram lampu,
di sela ricuh lautan pejalan kaki.
Suara kita tak terdengar,
hanya berdecap-decap,
tertelan bising bunyi mesin mobil,
serta knalpot dan rongrongan vespa butut.
Mulut ku dan mu bergerak,
buka dan tutup,
mata dan jemari bertaut,
suara kita masih tak terdengar.
Sampai sepi nanti,
bulan ditelan gelap malam,
jalanan tiba lengang,
kita masih disini,
tak berkata-kata.
Kita berdiri di persimpangan jalan,
di bawah temaram lampu,
di sela ricuh lautan pejalan kaki.
Suara kita tak terdengar,
hanya berdecap-decap,
tertelan bising bunyi mesin mobil,
serta knalpot dan rongrongan vespa butut.
Mulut ku dan mu bergerak,
buka dan tutup,
mata dan jemari bertaut,
suara kita masih tak terdengar.
Sampai sepi nanti,
bulan ditelan gelap malam,
jalanan tiba lengang,
kita masih disini,
tak berkata-kata.
Waktu dan aku
Kau dan kata-kata,
luluh lantak aku dibuatnya.
Kau dan frame, refleksi,
dan jangan lupakan bayangan,
parafrasekan aku sebagai maharani.
Kau dan waktu,
untuk yang satu ini,
aku tak bisa kompromi...
Kau dan kata-kata,
luluh lantak aku dibuatnya.
Kau dan frame, refleksi,
dan jangan lupakan bayangan,
parafrasekan aku sebagai maharani.
Kau dan waktu,
untuk yang satu ini,
aku tak bisa kompromi...
Friday, August 12, 2005
Hening yang kubenci
Sebut mereka sederhana,
dalam senyap yang lengkapi suara jangkrik,
telah lelap tertidur di atas dipan,
berselimutkan simpul di bibirnya.
Malam ini kita kembali diam,
semata lelah berargumen.
Hanya kerudung ingatan yang lingkupi,
satukan kita di dalamnya, masih bisu.
Sebut mereka sederhana,
dalam senyap yang lengkapi suara jangkrik,
telah lelap tertidur di atas dipan,
berselimutkan simpul di bibirnya.
Malam ini kita kembali diam,
semata lelah berargumen.
Hanya kerudung ingatan yang lingkupi,
satukan kita di dalamnya, masih bisu.
Thursday, August 11, 2005
Dilema
Kau menyemat rindu di telinga kanan,
selusin hari lamanya kita tak jumpa.
Malam ini hujan badai rupanya,
gemerisik tawa miris mencuri start,
cumbui yang sebelah kiri!
Kau menyemat rindu di telinga kanan,
selusin hari lamanya kita tak jumpa.
Malam ini hujan badai rupanya,
gemerisik tawa miris mencuri start,
cumbui yang sebelah kiri!
Tuesday, August 09, 2005
Rumah dan pulang
Kucari kau kemana-mana,
pagi saat kulelap tak sambut matari,
malam kian kentara kubaru terjaga.
Kucari kau kemana-mana,
bahkan dalam dekap kicau kenari,
yang kukenal hampir belasan tahun,
nyaris seusang sepatu tua di sudut kamar.
Kucari kau kemana-mana,
pagi saat kulelap tak sambut matari,
malam kian kentara kubaru terjaga.
Kucari kau kemana-mana,
bahkan dalam dekap kicau kenari,
yang kukenal hampir belasan tahun,
nyaris seusang sepatu tua di sudut kamar.
Sunday, August 07, 2005
Soliter
Rintik di sudut mata,
menghambur begitu saja.
Rupanya duka dan suka cinta,
seiring sejalan dalam tiap tarikan nafas.
Terang sebelum mendung,
renik sebelum lebat,
sepanjang jalan.
Rintik di sudut mata,
menghambur begitu saja.
Rupanya duka dan suka cinta,
seiring sejalan dalam tiap tarikan nafas.
Terang sebelum mendung,
renik sebelum lebat,
sepanjang jalan.
Akhir persinggahan
Kumulai dengan sederhana,
bahkan dalam yang tak terkira.
Pada hal remeh yang dibuang mereka,
daun yang disiakan pohon yang semakin menua.
Ah, perjalanan yang melegakan,
di suatu sore hari, masih terik.
Terdengar ricuh di ujung gang,
arak-arakan semalam suntuk,
lampion warna jingga sayup-sayup cahaya.
Mungkin akan menghibur, tapi jelas tak melarutkan.
Masih mencintaimu, dalam hati,
di tempat kenangan kita.
untuk sahabat-sahabatku...
Kumulai dengan sederhana,
bahkan dalam yang tak terkira.
Pada hal remeh yang dibuang mereka,
daun yang disiakan pohon yang semakin menua.
Ah, perjalanan yang melegakan,
di suatu sore hari, masih terik.
Terdengar ricuh di ujung gang,
arak-arakan semalam suntuk,
lampion warna jingga sayup-sayup cahaya.
Mungkin akan menghibur, tapi jelas tak melarutkan.
Masih mencintaimu, dalam hati,
di tempat kenangan kita.
untuk sahabat-sahabatku...
Saturday, August 06, 2005
Putih kebiruan
Deras air menyelak bebatuan,
mata ku bertemu mata mu.
Menjalin percakapan tanpa berlemparan kata,
bukan keheningan yang ingin dipecahkan.
Deras air menyelak bebatuan,
mata ku bertemu mata mu.
Menjalin percakapan tanpa berlemparan kata,
bukan keheningan yang ingin dipecahkan.
Thursday, August 04, 2005
Diam
Gerhana tak kunjung datang,
rotasimu salah hitungan...
Dan aku, tak bisa berkata-kata.
Gerhana tak kunjung datang,
rotasimu salah hitungan...
Dan aku, tak bisa berkata-kata.
Dua dalam satu, Bercinta
Gombal gambil dengan kata,
mereka adalah mati,
tak sisakan debat kusir,
bahkan bila nyawa bertahta.
Teriak spontan pada kertas buram,
coret dan tambahkan awalan,
maka kini resmi kita tlah pisah.
Ah, bukan frase sesendok teh,
pun segunung kalimat retoris banyaknya.
Karna kita adalah kita!
Tak pernah merasa dikalahkan,
apalagi merasa menang mutlak,
pun bersyarat.
Cinta adalah rasa,
yang tak bernominal.
Satu-satunya di dunia (ku),
paling tidak.
Gombal gambil dengan kata,
mereka adalah mati,
tak sisakan debat kusir,
bahkan bila nyawa bertahta.
Teriak spontan pada kertas buram,
coret dan tambahkan awalan,
maka kini resmi kita tlah pisah.
Ah, bukan frase sesendok teh,
pun segunung kalimat retoris banyaknya.
Karna kita adalah kita!
Tak pernah merasa dikalahkan,
apalagi merasa menang mutlak,
pun bersyarat.
Cinta adalah rasa,
yang tak bernominal.
Satu-satunya di dunia (ku),
paling tidak.
Subscribe to:
Posts (Atom)